Sejarah
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan
Islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15
hingga abad ke 16 M. Letak kesultanan Cirebon adalah di pantai utara pulau
Jawa. Lokasi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat Kesultanan
Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan Sunda. Sehingga, di
Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang
tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Pada awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama Caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya
Alam dari pedalaman, Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara jawa. Dari pelaburan Cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan
berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya.
Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh
menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Dalam buku “Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809” dijelaskan bahwa ada beberapa
proses yang terjadi terkait pertumbuhan Islam di Cirebon yaitu:
1. Tahun 1415 berlabuh
kapal dari Armada Te Ho bersama sekretarisnya Ma Huang
2. Tahun 1418 telah
datang rombongan pedagang dari Campa, dimana terdapat Syeh Hasanudin bin Yusuf
Sidik seorang ulama penyiar Islam
3. Tahun 1418 Putri Ki
Gedeng Tapa Nhay Subang Larang disuruh ayahnya belajar ilmu agama Islam di
pesantren Syeh Quro di Karawang
4. Tahun 1420 datang
rombongan ulama bernama Syeh Datuk Kahfi.
Walangsungsang adalah putra prabu Siliwangi dan Nyi
Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah ki gedeng
alang-alang meninggal walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai
Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan
oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan
antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari
Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 –
1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung
Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang
pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri
dinasti kesultanan Cirebon dan banten, serta menyebar Islam di majalengka,
Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah
wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi
kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran
Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun,
Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan
mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut
adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara
resmi menjadi sultan Cirebon sejak tahun 1568.
Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua
kemungkinan pertama, para sultan Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran
Jayakelana, dan pangeran Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra
yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di
Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu
Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan Gunung
Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 –
1568) mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki
tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan
Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan
ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan
ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan
oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya yaitu panembahan
Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya, pangeran karim
dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke Mataram.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke Mataram.
Di lain pihak, Mataram pun menuduh Cirebon tidak lagi
sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
dari banten adalah sama-sama keturunan pajajaran. Kondisi panas ini memuncak
dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura. Ia lalu
dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam
sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga
menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan
Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra
panembahan Girilaya di tahan di Mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi
kekosongan penguasa. Sultan ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran
Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak
Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal
perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat
I dari Mataram.
Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan
Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon.
Bersama satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai
penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran
murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan
ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga
bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
1. Pangeran Martawijaya
atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin
(1677 – 1703)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
2. Pangeran Wangsakerta
atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin
atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan”
bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Sebab, keduanya dilantik menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai
sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton
masing-masing.
Pergantian kepemimpinan para Sultan di Cirebon
selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798
– 1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu
pangeran raja kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama kesultanan KaCirebonan.
Kehendak raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda
yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda
mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak
berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan.
Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama
Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda
pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana
kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya
terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan
kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota
Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar